A. Pendahuluan
Perkembangan
dan pertumbuhan dunia perbankan akan sangat dipengaruhi oleh kemampuannyadalam
penghimpun dana masyarakat, baik skala kecil maupun besardengan masa
pengendapan yang memadai.sebagai lembaga keuangan masalah bank yang paling
utama adalah dana. tanpa dana yang cukup bank tidak berfungsi sama
sekali.sebagai sebuah lembaga keuangan, perbankan Islam juga melakukam hal yang
sama agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. lantas bagaimana Perbankan
Islam dalam menjalankan Penghimpunan dana?
Dalam
makalah ini, Kita akan membahas masing-masing produk Penghimpunan dana ini
dengan lebih rinci pada uraian berikut.
B.
Pembahasan
Istilah
lain yang digunakan untuk sebutan bank Islam adalah Bank Syariah. secara
akademik, istilah Islam dan syariah memang mempunyai pengertian yang berbeda.
namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan bank syariah mempunyai
pengertian yang sama.
Menurut
ensiklopedi Islam, bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa- jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran
uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Berdasarkan
rumusan tersebut, bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya
didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Islam. Yakni mengacu kepada
ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Diantara keluhan
terhadap perbankan syariah adalah karna sedikitnya produk yang dapat
mengakomodasi kebutuhan masyarakat, berbeda dengan perbankan konvensional yang
terlihat aktif dalam merekayasa produknya. ini disebabkan oleh beberapa
kendala, seperti masalah regulasi, perlakuan yang cenderung menyamaratakan
semua bank, sumber daya dan sebagainya.
padahal jika perbankan
syariah dibebaskan untuk mengembangkan produknya sendiri menurut teori
perbankna Islam, maka produknya akan sangat variatif mengikuti produk-produk
hukum syariah. disamping itu, sifat produk perbankan syariah yang tidak
mengambil bunga sebagai ukuran berdampak pada stabilisasi nilai mata uang,
karna perbankan syariah tidak bisa dipisahkan dari transaksi riil. dengan
demikian, produk perbankan syariah tidak mengakibatka Bubble Economics.
jika prasyarat tersebut
di atas dipenuhi, maka tinggal usaha perbankan syariah untuk mengelola produk
tersebut agar bisa kompetitif dengan produk lainnya di dunia perbankan, serta
bisa diadaptasi dengan teknologi yang sedang dan akan berkembang.[1]
Bank Syariah yang
terdiri dari BUS, UUS serta BPRS, pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang
sama denga bank konvensioanl, yaitu melakukan penghimpunan dan penyaluran dana
masyarakat disamping penyediaan jasa keuangan lainnya. Perbedaannya dalah
seluruh kegiatan usaha bank syariah, UUS dan BPRS didasarkan pada prinsip
syariah. Inplikasinya, disamping harus slalu sesuai dengan prinsip hukum Islam
juga adalah karna dalam prinsip syariah memiliki berbagai variasi akad yang
akan menimbulkan variasi prouk yang lebih banyak dibandingkan produk bank
konvensional.[2]
Metode
penghimpunan dana yang ada pada Bank-bank konvensional didasari teori yang
diungkapkan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga
kegunaan, yaitu fungsi transaksi, cadangan, dan investasi. Oleh karena itu,
produk penghimpuanan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu
berupa giro, tabungan, dan deposito.
berbeda
dengan hal tersebut, Bank Syariah tidak melakukan pendekatan tungggal dalam
menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Pada dasarnya, dilihat
dari sumbernya, dan bank Syariah terdiri atas:[3]
1. Wadi’ah
a.
Pengertian
Secara
etimologis, kata Wadi’ah berasal dari kata Wada’a asyi-syiai’ jika ia meninggalkannya pada orang yang menerima
titipan. adapun Wadi’ah secara
terminology, yaitu pemberian kuasa oleh penitip kepada orang yang menjaga
hartanya tanpa konvensasi ataupun (ganti).[4]
wadiah
dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik
inividu ataupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan sajua si
penitip menghendaki. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah & Hanabilah menyatakan:
“Mewakilkan orang
lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.”
Selain itu, Wadiah dapat
juga diartikan akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang
untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Dari pengertian ini, maka dapat
dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut
sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka sipenerima titipan tidak wajib
menggantinya, tetapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka
wajib menggantinya. Dengan demikian akad Wadi’ah
ini mengandung unsure amanah,
Kepercayaan (trusty).[5]
Wadi’ah dalam
tradisi Fiqih Islam, dikenal dengan prinsip titipan atau simpanan. Wadi’ah dapat juga diartikan titipan
murni dari satu pihah ke pihak lain, baik sebagai individu maupun sebagai suatu
badan hukum. Titipan dimaksud, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendaki. Dapat dikatakan bahwa sifat-sifat dari Wadi’ah, sebagai produk perbankan
syariah membentuk giro yang merupakan titipan murni (yad damanah).[6]
b.
Pembagian
Wadi’ah dan Penerapannya pada Perbankan Syariah
Secara
umum terdapat dua jenis Wadi’ah, yaitu Wadi’ah yad al-amanah dan Wadi’ah yad adh-dhamanah.
1)
Wadi’ah
yad al-amanah (Trustee Defostery)
Wadi’ah jenis
ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Harta
atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan.
b) Penerima
titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban
untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
c) Sebagai
konvensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang
menitipkan.
d) mengingat
barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima
titipan, aplikasi Perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa
penitipan atau safe defosit box.
Gambar
Skema
Al- Wadi’ah yad al-amanah[7]
1. 

Titip Barang



![]() |
2. Membebankan
Fee
2)
Wadi’ah yad adh-dhamanah (Guarante Depository)
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a) Harta
dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima
titipan.
b) Karena
dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima
titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
c) Produk
perbankan yang sesuai dengan akad ini.[8]
Gambar






3.
Bagi hasil 2. Pemanfaatan dana
![]() |
c.
Dasar
hukum Wadi’ah
Al-Wadi’ah
adalah amanat bagi orang yang mnerima titipan dan ia wajib mengembalikannya
pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah SWT:
artinya: Jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan
amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah sebagai Tuhannya (Al-Baqarah:
283)[10]
Orang
yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak
melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan Jinayah terhadap barang titipan. Berdasarkan sabda Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Dar al- Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dari
bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi saw. bersabda:
artinya: “Siapa saja yang dititipi,
ia tidak berkewajiban menjamin” (Riwayat Daruquthni)[11]
d.
Rukun
Wadi’ah
Rukun
Wadi’ah meliputi:
1) Barang
yang disimpan/dititipkan (wadi’ah)
2) Pemilik
barang/uang, yang bertindak sebagai pihak yang menitipkan (muwaddi’)
3) Pihak
yang menyimpan atau memberikan jasa kustodian (Mustawda’)
4) Ijab
Kabul (sighat)[12]
e.
Ketentuan
umum Wadi’ah
Dewan Syariah Nasional
telah mengeluarkan ketentuan mengenai giro yang dapat diterapkan dengan system
wadi’ah, yaitu pada fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini giro yang
berdasarkan wadi’ah ditentukan bahwa:
1) Dana
yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan;
2) Titipan
(dana) yang bisa diambil kapan saja (on call) dan
3) Tak
ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Sedangkan tabungan
diatur dalam fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini disebutkan
ketentuan mengenai tabungan yang berdasarkan wadi’ah yaitu:
1) Dana
yang disimpan pada bank adalah yang bersifat simpanan.
2) Simpanan
ini bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesempatan; dan
3) Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali
dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.[13]
f.
Fitur
dan mekanisme Giro berdasarkan Wadi’ah
1) Bank
bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah sebagai penitip dana.
2) Bank
tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah.
3) Bank
dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang
terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain, biaya cek/bilyet
giro, biaya materai, cetak laporan transakisi dan saldo rekening, pembukaan dan
penutupan rekening.
4) Bank
menjamin pengembalian dana titipan nasabah.
5) Dana
titipan dapat diamil setiap saat oleh nasabah.[14]
2.
Mudharabah
a.
Pengertian
Prinsip penghimpunan
dana yang kedua adalah prinsip Mudharabah. Secara etimologis Mudharabah mempunyai
arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan bepergian.
Secara terminologis Mudharabah adalah kontrak (perjanjian)
antara pemilik modal (rab al-mal) dan
pengguna dana (mudharib) untuk
digunakan untuk aktifitas yang produktif dimana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola
modal. Kerugian jika ada ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu
terjadi dalam keadaan normal, pemodal (rab
al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya.[15]
Selain al-dharb,
disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu,
berarti al-qath’u (potongan) karena
pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah
atau qiradh dengan muamalah.
jadi, menurut bahasa, mudharabah atau qiradh
berarti al-qath’u (potongan), berjalan,
dan atau bepergian.
Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
mudharabah ialah:
“akad
yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untk
ditijarahkan.”
Syaikh
Syihab al-Din al-Qalyubi & Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah:
“seseorang
menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan
bersama-sama.[16]
Dalam prinsip yang
kedua ini, penyimpanan atau deposan bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik
modal, sedangkan bank Islam bertindak sebagai mudharib. Dana yang dikumpulkan
oleh bank Islam dengan konsep mudharabah ini kemudian yang akan dimanfaatkan
oleh bank itu sendiri untuk disalurkan dalam pembiayaan, baik dalam bentuk
mudharabah ataupun ijarah. selain itu, dana tersebut dapat pula dimanfaatkan
oleh pihak bank untuk melakukan pembiayaan dengan konsep mudharabah pula,
dimana hasil usaha yang telah disepakati. bila bank menggunakan dana yang
dihimpunnya juga dalam pembiayaan mudharabah, maka pihak bank bertanggung jawab
terhadap kemungkinan kerugian yang akan terjadi.
b.
Pembagian
Mudharabah dan Penerapannya pada Perbankan Syariah
Berdasarkan apa yang ada serta kewenangan
yang diberikan oleh pihak penyimpanan dana terhadap bank, maka terdapat dua
prinsip dalam mudharabah, yaitu:
1)
Mudharabah
Mutlaqah (Unrectricted Investment Account)
Dalam
konsep Mudharabah ini, tidak pembatasan bagi pihak bank Islam dalam penggunaan
dana dari dana-dana yag berhasil dihimpun. Dalam hal ini maka pihak nasabah
sama sekali tidak memberikan persyaratan apa pun kepada pihak bank jenis usaha
apa dari dana yang disimpannya ke dalam bank Islam tersebut akan disalurkan,
atau dalam menetapkan penggunaan akad-akad tertentu, atau pun masyarakat
dananya harus diperuntukkan bagi para nasabah tertentu. Jadi, dalam
penghimpunan dana dengan konsep mudharabah mutlaqah ini pihak bank Islam
memiliki kebebasan penuh untuk menyalurkan dananya ke dalam usaha apa pun yang
diperkirakan akan menguntungkannya. Maka berdasarkan konsep mudharabah mutlaqah
ini pihak bank Islam dapat melakukan pengembangan dua jenis penghimpunan dana,
yaitu konsep tabungan dan deposito mudharabah.
Gambar
SkemaMudharabah
Muthlaqah[17]
![]() |
![]() |
||||
![]() |




2)
Mudharabah
Muqayyadah (Restricted Investment Account)
Dapat
dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a)
Mudharabah
Muqayyadah on balance sheet
yaitu
merupakan penghimpunan dana dalam bank Islam yang berbentuk simpanan khusus
dimana pihak pemilik dana dapat menerapkan syarat-syarat tertentu yang harus
dipatuhi oleh pihak bank Islam.
b)
Mudharabah
Muqayyadah yang berbetuk off balance sheet
Jenis
Mudharabah ini merupakan konsep
penyaluran langsung dana mudharabah kepada
para pelaksana usahanya dengan karakteristiknya.[18]
c.
Dasar
Hukum Mudharabah
Dasar kebolehan praktik Mudharabah adalah QS. Al-Baqarah 2:198: “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
dari Tuhanmu”. Adapun dalil sunnah adalah bahwasanya Nabi penah melakukan
akad Mudharabah bagi hasil dengan harta Khadijah ke Negri Syam (waktu itu
Khadijah belum menjadi istri Rasulullah SAW). Dan hadist dari Shuhaybah
Rasulullah bersabda: ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang
ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga,
bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah)
Diriwayatkan dari Daruquthni Hakim Ibnu
Hizam apabila member modal kepada seseorang dia mensyaratkan: harta jangan
digunakan membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan dibawa
menyebrang sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu
maka kamu harus bertanggung jawab terhadap hartaku.
Dalam Muwatha’ Imam Malik, dari Al-a’la
Ibn Abdurrahman Ibn Yaqub dari kakeknya bahwa ia pernah mengerjakan harta
ust-Man r.a. Sedang keuntungannya dibagi dua.
kebolehan Mudharabah juga dapat
di-qiyas-kan dengan kebolehan praktik Musyaqah (bagi hasil dalam bidang
perkebunan). Selain itu, kebolehanpraktik Mudharabah ijma’ ulama.
d.
Rukun
Mudharabah
Menurut
ulama Syafi’yah, rukun qiradh atau mudharabah ada enam, yaitu:
1) Pemilik
barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2) Orang
yang bekerja, yaitu mengelola harta yang diterima dari pemilik barang.
3) Akad
mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
4) Maal,
yaitu harta poko atau modal.
5) Amal,
yaitu pekerjaan pengelola harta sehingga menghasilkan laba.
6) Keuntungan
Menurut
Pasal 232 Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun mudharabah ada tiga, yaitu
sebagai berikut:
a) Shahib al-mal/pemilik
modal.
b) Mudharib/Pelaku
usaha.
c) Akad.[19]
e.
Ketentuan
Umum Mudharabah
System mudharabah
ini dapat diaplikasikan pada produk tabungan, deposito, dan giro. seperti
halnya pada system wadi’ah, tabungan juga diatur dalam fatwa DSN No.
02/DSN-MUI/IV2000 dan giro diatur dalam Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000.
Sedangkan mengenai deposito diatur dalam Fatwa DSN No. 03/DSN-MUI/IV/2000.
Ketentuan tabungan, giro, dan deposito
berdasarkan mudharabah dalam masing-masing fatwanya adalah sama. Isi dari
ketentuan-ketentuannya adalah sebagai berikut:
1) Dalam
transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dank
bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2) Dalam
kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya termasuk di
dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3) Modal
harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4) Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
5) Bank
sebagai Mudharib menutup biaya
operasioanal tabungan giro atau deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan
yang menjadi haknya.
6) Bank
tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan.
Sistem Mudharabah ini tidak hanya digunakan pada tabungan dan deposito
sebagai penyaluran dana, tetapi lebih banyak digunakan pada pembiayaan untuk
nasabah sebagai penyaluran dana. Hal ini diurikan lebih lanjut pada bagian
penyaluran dana pada system Mudharabah.[20]
f.
Fitur dan mekanisme Giro berdasarkan Mudharabah
1) Bank
bertindak sebagai pengelola dana (Mudharib) dan nasabah bertindak sebagai
pemilik dana (shahibul mal).
2) pembagian
keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang telah disepakati.
3) Bank
dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang
terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain, biaya
cek/bilyet giro, biaya materai, cetak laporan transakisi dan saldo rekening,
pembukaan dan penutupan rekening.
4) Bank
tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan
nasabah.[21]
g.
Pembatalan
Mudharabah
1)
Tidak
terpenuhunya salah satu atau beberapa syarat mudharabah
2) Pengelola
dengan sengaja meninggalkan tugasnya sbagai pengelola modal atau pengelola
modal buat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
3) Apabila
pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.[22]
Kesimpulan
Metode
penghimpunan dana yang ada pada Bank-bank konvensional didasari teori yang
diungkapkan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga
kegunaan, yaitu fungsi transaksi, cadangan, dan investasi. Oleh karena itu,
produk penghimpuanan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu
berupa giro, tabungan, dan deposito.
berbeda
dengan hal tersebut, Bank Syariah tidak melakukan pendekatan tungggal dalam
menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Pada dasarnya, dilihat
dari sumbernya, dan bank Syariah terdiri atas:
1.
Wadi’ah
diartikan akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk
dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Dari pengertian ini, maka dapat
dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut
sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka sipenerima titipan tidak wajib menggantinya,
tetapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka wajib
menggantinya. Dengan demikian akad Wadi’ah
ini mengandung unsure amanah,
Kepercayaan (trusty).
2.
Mudharabah adalah
kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab
al-mal) dan pengguna dana (mudharib)
untuk digunakan untuk aktifitas yang produktif dimana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengelola
modal. Kerugian jika ada ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu
terjadi dalam keadaan normal, pemodal (rab
al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya.
Daftar Pustaka
Arifin, Zainul, (2000). Memahami Bank Syariah. Jakarta: Alvabet.
Ali ,Zainuddin, (2008). Hukum Perbankan Syariah. Jakarta:
SinarGrafika.
Dewi, Gemala, (2007). Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan
Peransuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana.
Huda, Nurul, (2010). Lembaga Keuangan Islam. Jakarta:
Kencana.
Mardani, (2012). Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Suhendi, Hendi, (2011). Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Soemitra, Andri,
(2009). Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana. Wirdyaningsih,
dkk, (2005). Bank dan Asuransi Islam di
Indosesia, Jakarta: Kencana.
[1]
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, (Jakarta: Alvabet, 2000). hlm 198
[2]
Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009).
hlm 72
[3]
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam
Perbankan dan Peransuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2007).
hlm 80-81
[4]
DR. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,
(Jakarta: Kencana, 2012). hlm 282
[5]
Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam,
(Jakarta: Kencana,2010). hlm 86-87
[6]
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum
Perbankan Syariah, (Jakarta: SinarGrafika, 2008). hlm 23
[7]
Gemala Dewi, Op Cit, hlm 83
[8]
DR. Mardani, Op Cit, hlm 282-284
[9]
Wirdyaningsih, SH., MH. dkk, Bank dan
Asuransi Islam di Indosesia, (Jakarta: Kencana, 2005). hlm 104
[10]
Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqih
Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). hlm 182
[11] Ibid, hlm. 182
[12]
Nurul Huda, Op Cit, hlm 88
[13]
Wirdyaningsih, Op Cit, hlm 104-105
[14]
Andri Soemitra, Op Cit, hlm 75
[15]
DR. Mardani, Op Cit, hlm 195
[16]
Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Op Cit,
hlm 137
[17]
Gemala Dewi, Op Cit, hlm 85
[18]
Nurul Huda, Op Cit, hlm 91-93
[19]
DR. Mardani, Op Cit, hlm 197
[20]
Wirdyaningsih, Op Cit, hlm 105-106
[21] [21]
Andri Soemitra, Op Cit, hlm 75
[22]
DR. Mardani, Op Cit, hlm 203-204