Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Sabtu, 13 September 2014

Ushul Fiqh | 'Urf

PEMBAHASAN
1.      PENGETIAN ‘URF
‘Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat.[1]
Menurut istilah ahli syara’, ‘urf bemakna adat. Dengan  kata lain ‘urf  dan adat itu tidak ada perbedaannya. ‘Urf tentang perbuatan manusia, misalnya jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap al-walad, yang lafazh tersebut mutlak berarti anak laki-laki, dan bukan wanita. Juga pengertian tentang kata al-lahmu (daging) yang tidak termasuk di dalamnya as-samak (ikan). Dengan kata lain ‘urf itu merupakan saling pengertian manusia terhadap tingkatan mereka yang berbeda, tentang keumuman dan kekhususan. Dalam hal ini memang sangat berbada dengan ijma’. Sebab, ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid baik yang bersifat umum atau umum dan tidak menciptakan adanya ‘urf.[2]
2.      MACAM-MACAM ‘URUF
‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Jika ditinjau dari segi sifatnya ‘urf terbagi kepada:[3]
a.       ‘Urf Qauli, yaitu ‘urf yang berupa pekataan seperti perkataan al-walad, yang lafazh tersebut mutlak berarti anak laki-laki, dan bukan wanita. Juga pengertian tentang kata al-lahmu (daging), menurut bahasa berarti daging, seperti daging binatang darat dan daging ikan. Tetapi dalm percakapan sehari-hari hanya berarti daging binatang darat saja, tidak termasuk daging binatang air atau as-samak (ikan).
b.      ‘Urf Amali, yaitu berupa perkataan. Seperti kebiasaan jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat. Padahal menurut syara’ shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa melakukan shighat dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara’ memperbolehkannya[4]
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya ‘urf terbagi atas:
a.        ‘Urf sahih, yaitu sesuata yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram. Seperti adanya saling  pengertian diantara manusia tentang kontrak borongan, saling pengertian tentang jumlah mas kawin (mahar), apakah mahar itu dibayar kontan atau hutang, serta pengertian yang terjalin tentang isteri tidak diperkenankan menyerahkan dirinya kepada suami sebelum ia menerima sebagian dari maharnya. Juga tentang sesuatau yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon isteri berupa perhiasan, pakaian atau apa saja, dianggap sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagain dari mahar.
b.      ‘Urf fasid, yaitu sesuatu yang telah dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’ , menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang beberapa perbutan munkar dalam upacara pernikahan, juga tentang memakan barang riba dan kebiasaan mengadakan sesajian di tempat-tempat yang dianggap keramat.[5]
Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi kepada:
a.       ‘Urf Aam, ialah ‘urf yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan, seperti member hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya. Pengertian member hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang memang manjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat-pejabat dan karyawan dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan masyarkat yang dilayani.
b.      ‘Urf Khash, ialah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bil halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedangkan pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.[6]
3.       HUKUM ‘URF
a.       ‘Urf Sahih dan Pandangan Para ulama
Telah disepakati bahwa ;urf sahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qadhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili. Sesuatau yang telah saling dikenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan dengan syara’ harus dipelihara.
Dan syari’ pun telah memelihara ‘urf bangsa Arab yang sahih dalam bentuk hukum, maka difardukanlah diat (denda) atas perempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah (kesesuaian dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula adanya ‘ashabah (ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka).[7]
Diantara para ulama yang berkata “Adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”, begitu juga ‘urf menurut syara’ mendapat pengakuan hukum. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya pada peerbuatan penduduk Madinah. Abu Hanafiyah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbuatan ‘urf mereka. Sedangkan Imam Syafi’I ketika sudah berada di Mesir, mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika beliau berada di Bagdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf, maka tak heran kalu beliau mempunyai du mazhab, mazhab qadim (terdahlu/pertama) dan mazhab jaded (baru).
Begitu pula dal Fiqh Hanafiyah, banyak hukum-hukum yang berdasarkan atas ‘urf, diantaranya apabila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi bagi salah satunya, maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat orang yang disaksikan ‘urf. Apabila suami istri tidak sepakat atas mahar yang muqaddam (terdahulu) atau yang mu’akhar (terakhir) maka hukumnya adalah ‘urf. Barang siapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar, maka ia tidak berarti bahwa ia melanggar sumpahnya menurut dasar ‘urf.[8]
b.      Hukum ‘Urf Fasid
Adapun ‘urf yang rusak, tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah saling mengerti akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akat gharar atau khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkannya.[9]
Dalam undang-undang positif manusia, ‘urf yang bertentangan dengan undang-undang umum tidak diakui, tetapi dalam contoh akad ini bisa ditinjau dari segi lain, yaitu apakah akad tersebut dianggap darurat atau sesuai dengan hajat manusia? Artinya, apabila akad tersebut membatalkan, maka berarti menipu peraturan kehidupan mereka atau mereka akan memperoleh kesulitan. Jika hal itu termasuk darurat atau kebutuhan mereka, akad itu diperbolehkan, karena dalam keadaan darurat dibolehkan melakukan hal-hal yang telah diharamkan, sedang hajat itu bisa menduduki tempat kedudukan darurat. Namun, jika tidak termasuk darurat atau kebutuhan mereka, maka dihukumi dengan batalnya akad tersebut dan berdasarkan hal ini maka ‘urf tidak diakui.
Hukum-hukum yang didasarkan ‘urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahab asalnya. Karena itu, para Fuqahah berkata, “Perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.[10]
4.      KAIDAH-KAIDAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN ‘URF
Diantara kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ‘urf ialah :
a.        
Artinya : Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.
b.       
Artinya : Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya.
c.        
Artinya : tidak dapat di pungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan perubahan masa.[11]
5.       KEHUJJAHAN ‘URF
Dalam literatur yang membahas kehujjahan ‘urf sebgai sumber hukum, dapat diketahui bahwa ‘urf itu telah diamalkan oleh semua para ahli hukum Islam terutama dikalangan Mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah menggunakan Istihsan dalam berijtihat dan salah satu bentuk istihsan ini adalah istihsan al ‘urf (istihsan yang menyandarkan pada ‘urf). Ulama Malikiyah juga mempergunakan ‘urf sebagai sumber hukum terutama ‘urf (tradisi) yang hidup di kalangan Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Ulama Hanafiyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal0hal yang tidak ditamukan ketentuannya dalam hukum syara’. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah “Setiap yang dating dengan syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka hal tersebut dikembalikan kepada ‘urf”.[12]
Ada juga hadis yang berasal dari Abdullah Bin Mas’ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam Musnadnya : “ Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sesuatu yang baik, maka yang demikian itu juga disisi Allah juga baik”.
Imam Syafi’I mempergunakan ‘urf sebagai sumber hukum atas dasar pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak) dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan ‘urf sebagai sumbr hukum dalam menyelesaikan berbagai masalah social yang timbul dalam masyarakat.[13]
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
‘Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat. Menurut istilah ahli syara’, ‘urf bemakna adat. Dengan  kata lain ‘urf  dan adat itu tidak ada perbedaannya.
Macam-macam ‘urf ditinjau dari segi sifat:
a.       ‘Urf Amali, yaitu berupa perkataan.
b.      ‘Urf Qauli, yaitu ‘urf yang berupa pekataan.
Macam-macam ‘urf ditinjau dari diterima atau tidaknya:
a.       ‘Urf sahih, yaitu sesuata yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram.
b.      ‘Urf fasid, yaitu sesuatu yang telah dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’ , menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.
Macam-macam ‘urf ditinjau dari segi ruang lingkupnya:
a.       ‘Urf Aam, ialah ‘urf yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan.
b.      ‘Urf Khash, ialah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. 
DAFTAR PUSTAKA
Darmansyah Hasibuan, Diktat Ushul Fiqh.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.
Syafe’I, Rachmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.
Umar, Muin, ushul Fiqh, Jakarta: Departemen Agama RI.


[1] Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1996, hlm. 149
[2] Ibid.
[3] Drs. Muin Umar, ushul Fiqh, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, hlm. 151
[4] Ibid.
[5]Dr.  Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007, hlm. 128-129
[6] Drs. Muin Umar, Op. Cit., hlm. 152
[7] Dr. Rachmad Syafe’I, Loc. Cit.
[8] Ibid., hlm. 130
[9]Dr.  Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 151
[10] Ibid., hlm. 152
[11] Drs. Muin Umar, Op. Cit., hlm. 153
[12] Drs. Darmansyah Hasibuan, Diktat Ushul Fiqh, hlm. 39
[13] Ibid., hlm. 40

0 komentar:

Posting Komentar