PEMBAHASAN
1.
PENGETIAN
‘URF
‘Urf adalah
segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan
atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan
meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat.[1]
Menurut istilah
ahli syara’, ‘urf bemakna adat. Dengan
kata lain ‘urf dan adat itu tidak
ada perbedaannya. ‘Urf tentang perbuatan manusia, misalnya jual beli yang
dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat. Untuk
‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap
al-walad, yang lafazh tersebut mutlak berarti anak laki-laki, dan bukan wanita.
Juga pengertian tentang kata al-lahmu (daging) yang tidak termasuk di dalamnya
as-samak (ikan). Dengan kata lain ‘urf itu merupakan saling pengertian manusia
terhadap tingkatan mereka yang berbeda, tentang keumuman dan kekhususan. Dalam
hal ini memang sangat berbada dengan ijma’. Sebab, ijma’ merupakan kesepakatan
para mujtahid baik yang bersifat umum atau umum dan tidak menciptakan adanya
‘urf.[2]
2.
MACAM-MACAM
‘URUF
‘Urf dapat
dibagi atas beberapa bagian. Jika ditinjau dari segi sifatnya ‘urf terbagi
kepada:[3]
a. ‘Urf
Qauli, yaitu ‘urf yang berupa pekataan seperti perkataan al-walad, yang lafazh
tersebut mutlak berarti anak laki-laki, dan bukan wanita. Juga pengertian
tentang kata al-lahmu (daging), menurut bahasa berarti daging, seperti daging
binatang darat dan daging ikan. Tetapi dalm percakapan sehari-hari hanya
berarti daging binatang darat saja, tidak termasuk daging binatang air atau
as-samak (ikan).
b. ‘Urf
Amali, yaitu berupa perkataan. Seperti kebiasaan jual beli yang dilakukan
berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan shighat. Padahal menurut
syara’ shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi
karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa
melakukan shighat dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara’
memperbolehkannya[4]
Ditinjau
dari segi diterima atau tidaknya ‘urf terbagi atas:
a. ‘Urf sahih, yaitu sesuata yang telah saling
dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak
menghalalkan yang haram. Seperti adanya saling
pengertian diantara manusia tentang kontrak borongan, saling pengertian
tentang jumlah mas kawin (mahar), apakah mahar itu dibayar kontan atau hutang,
serta pengertian yang terjalin tentang isteri tidak diperkenankan menyerahkan
dirinya kepada suami sebelum ia menerima sebagian dari maharnya. Juga tentang
sesuatau yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon isteri
berupa perhiasan, pakaian atau apa saja, dianggap sebagai hadiah dan bukan
merupakan sebagain dari mahar.
b. ‘Urf
fasid, yaitu sesuatu yang telah dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan
syara’ , menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti adanya
saling pengertian di antara manusia tentang beberapa perbutan munkar dalam
upacara pernikahan, juga tentang memakan barang riba dan kebiasaan mengadakan
sesajian di tempat-tempat yang dianggap keramat.[5]
Ditinjau
dari segi ruang lingkup berlakunya, ‘urf terbagi kepada:
a. ‘Urf
Aam, ialah ‘urf yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan, seperti
member hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita,
mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.
Pengertian member hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang
memang manjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa
itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat-pejabat dan karyawan dalam
urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan masyarkat yang dilayani.
b. ‘Urf
Khash, ialah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu
saja. Seperti mengadakan halal bil halal yang biasa dilakukan oleh bangsa
Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan
Ramadhan, sedangkan pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.[6]
3.
HUKUM ‘URF
a. ‘Urf
Sahih dan Pandangan Para ulama
Telah disepakati
bahwa ;urf sahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan.
Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan
hukum. Begitu juga seorang Qadhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang
mengadili. Sesuatau yang telah saling dikenal manusia meskipun tidak menjadi
adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap mendatangkan kemaslahatan
bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan dengan syara’ harus
dipelihara.
Dan syari’ pun
telah memelihara ‘urf bangsa Arab yang sahih dalam bentuk hukum, maka
difardukanlah diat (denda) atas perempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah
(kesesuaian dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula adanya ‘ashabah (ahli
waris yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagian
harta pusaka).[7]
Diantara para
ulama yang berkata “Adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”, begitu
juga ‘urf menurut syara’ mendapat pengakuan hukum. Imam Malik mendasarkan
sebagian besar hukumnya pada peerbuatan penduduk Madinah. Abu Hanafiyah bersama
murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas
perbuatan ‘urf mereka. Sedangkan Imam Syafi’I ketika sudah berada di Mesir,
mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika
beliau berada di Bagdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf, maka tak heran kalu
beliau mempunyai du mazhab, mazhab qadim (terdahlu/pertama) dan mazhab jaded
(baru).
Begitu pula dal
Fiqh Hanafiyah, banyak hukum-hukum yang berdasarkan atas ‘urf, diantaranya
apabila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi bagi
salah satunya, maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat
orang yang disaksikan ‘urf. Apabila suami istri tidak sepakat atas mahar yang
muqaddam (terdahulu) atau yang mu’akhar (terakhir) maka hukumnya adalah ‘urf.
Barang siapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar,
maka ia tidak berarti bahwa ia melanggar sumpahnya menurut dasar ‘urf.[8]
b. Hukum
‘Urf Fasid
Adapun ‘urf yang
rusak, tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti
menentang dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah
saling mengerti akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akat gharar atau
khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh
dalam membolehkannya.[9]
Dalam
undang-undang positif manusia, ‘urf yang bertentangan dengan undang-undang umum
tidak diakui, tetapi dalam contoh akad ini bisa ditinjau dari segi lain, yaitu
apakah akad tersebut dianggap darurat atau sesuai dengan hajat manusia?
Artinya, apabila akad tersebut membatalkan, maka berarti menipu peraturan
kehidupan mereka atau mereka akan memperoleh kesulitan. Jika hal itu termasuk
darurat atau kebutuhan mereka, akad itu diperbolehkan, karena dalam keadaan
darurat dibolehkan melakukan hal-hal yang telah diharamkan, sedang hajat itu
bisa menduduki tempat kedudukan darurat. Namun, jika tidak termasuk darurat
atau kebutuhan mereka, maka dihukumi dengan batalnya akad tersebut dan
berdasarkan hal ini maka ‘urf tidak diakui.
Hukum-hukum yang
didasarkan ‘urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahab
asalnya. Karena itu, para Fuqahah berkata, “Perselisihan itu adalah
perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.[10]
4.
KAIDAH-KAIDAH
YANG BERHUBUNGAN DENGAN ‘URF
Diantara
kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ‘urf ialah :
a.
Artinya
: Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.
b.
Artinya
: Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya.
c.
Artinya
: tidak dapat di pungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan perubahan
masa.[11]
5.
KEHUJJAHAN ‘URF
Dalam literatur
yang membahas kehujjahan ‘urf sebgai sumber hukum, dapat diketahui bahwa ‘urf
itu telah diamalkan oleh semua para ahli hukum Islam terutama dikalangan Mazhab
Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah menggunakan Istihsan dalam berijtihat
dan salah satu bentuk istihsan ini adalah istihsan al ‘urf (istihsan yang
menyandarkan pada ‘urf). Ulama Malikiyah juga mempergunakan ‘urf sebagai sumber
hukum terutama ‘urf (tradisi) yang hidup di kalangan Madinah sebagai dasar
dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad. Ulama Hanafiyah
banyak menggunakan ‘urf dalam hal0hal yang tidak ditamukan ketentuannya dalam
hukum syara’. Mereka mengemukakan kaidah-kaidah “Setiap yang dating dengan syara’ secara mutlak, dan tidak ada
ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka hal tersebut dikembalikan kepada
‘urf”.[12]
Ada juga hadis
yang berasal dari Abdullah Bin Mas’ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam
Musnadnya : “ Apa-apa yang dilihat oleh
umat Islam sesuatu yang baik, maka yang demikian itu juga disisi Allah juga
baik”.
Imam Syafi’I
mempergunakan ‘urf sebagai sumber hukum atas dasar pertimbangan kemaslahatan
(kebutuhan orang banyak) dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila
tidak menggunakan ‘urf sebagai sumbr hukum dalam menyelesaikan berbagai masalah
social yang timbul dalam masyarakat.[13]
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
‘Urf adalah
segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan
atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan
meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat. Menurut
istilah ahli syara’, ‘urf bemakna adat. Dengan
kata lain ‘urf dan adat itu tidak
ada perbedaannya.
Macam-macam ‘urf
ditinjau dari segi sifat:
a. ‘Urf
Amali, yaitu berupa perkataan.
b. ‘Urf
Qauli, yaitu ‘urf yang berupa pekataan.
Macam-macam ‘urf ditinjau
dari diterima atau tidaknya:
a. ‘Urf
sahih, yaitu sesuata yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak
bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram.
b. ‘Urf
fasid, yaitu sesuatu yang telah dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan
syara’ , menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.
Macam-macam ‘urf ditinjau
dari segi ruang lingkupnya:
a. ‘Urf
Aam, ialah ‘urf yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan.
b. ‘Urf
Khash, ialah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu
saja.
DAFTAR PUSTAKA
Darmansyah Hasibuan, Diktat Ushul Fiqh.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah
Press, 1996.
Syafe’I, Rachmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2007.
Umar, Muin, ushul Fiqh, Jakarta: Departemen Agama
RI.
[1] Dr.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:
Gema Risalah Press, 1996, hlm. 149
[2] Ibid.
[3] Drs.
Muin Umar, ushul Fiqh, Jakarta:
Departemen Agama RI, 1986, hlm. 151
[4] Ibid.
[5]Dr.
Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007, hlm. 128-129
[6] Drs.
Muin Umar, Op. Cit., hlm. 152
[7] Dr.
Rachmad Syafe’I, Loc. Cit.
[8] Ibid., hlm. 130
[9]Dr.
Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 151
[10] Ibid., hlm. 152
[11] Drs.
Muin Umar, Op. Cit., hlm. 153
[12] Drs.
Darmansyah Hasibuan, Diktat Ushul Fiqh, hlm.
39
[13] Ibid., hlm. 40
0 komentar:
Posting Komentar