Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Kamis, 16 Januari 2014

Wadi'ah



A.   Pendahuluan
Perkembangan dan pertumbuhan dunia perbankan akan sangat dipengaruhi oleh kemampuannyadalam penghimpun dana masyarakat, baik skala kecil maupun besardengan masa pengendapan yang memadai.sebagai lembaga keuangan masalah bank yang paling utama adalah dana. tanpa dana yang cukup bank tidak berfungsi sama sekali.sebagai sebuah lembaga keuangan, perbankan Islam juga melakukam hal yang sama agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. lantas bagaimana Perbankan Islam dalam menjalankan Penghimpunan dana?
Dalam makalah ini, Kita akan membahas masing-masing produk Penghimpunan dana ini dengan lebih rinci pada uraian berikut.
 


B. Pembahasan
            Istilah lain yang digunakan untuk sebutan bank Islam adalah Bank Syariah. secara akademik, istilah Islam dan syariah memang mempunyai pengertian yang berbeda. namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan bank syariah mempunyai pengertian yang sama.
            Menurut ensiklopedi Islam, bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa- jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
            Berdasarkan rumusan tersebut, bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Islam. Yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Diantara keluhan terhadap perbankan syariah adalah karna sedikitnya produk yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat, berbeda dengan perbankan konvensional yang terlihat aktif dalam merekayasa produknya. ini disebabkan oleh beberapa kendala, seperti masalah regulasi, perlakuan yang cenderung menyamaratakan semua bank, sumber daya dan sebagainya.
padahal jika perbankan syariah dibebaskan untuk mengembangkan produknya sendiri menurut teori perbankna Islam, maka produknya akan sangat variatif mengikuti produk-produk hukum syariah. disamping itu, sifat produk perbankan syariah yang tidak mengambil bunga sebagai ukuran berdampak pada stabilisasi nilai mata uang, karna perbankan syariah tidak bisa dipisahkan dari transaksi riil. dengan demikian, produk perbankan syariah tidak mengakibatka Bubble Economics.
jika prasyarat tersebut di atas dipenuhi, maka tinggal usaha perbankan syariah untuk mengelola produk tersebut agar bisa kompetitif dengan produk lainnya di dunia perbankan, serta bisa diadaptasi dengan teknologi yang sedang dan akan berkembang.[1]
Bank Syariah yang terdiri dari BUS, UUS serta BPRS, pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama denga bank konvensioanl, yaitu melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa keuangan lainnya. Perbedaannya dalah seluruh kegiatan usaha bank syariah, UUS dan BPRS didasarkan pada prinsip syariah. Inplikasinya, disamping harus slalu sesuai dengan prinsip hukum Islam juga adalah karna dalam prinsip syariah memiliki berbagai variasi akad yang akan menimbulkan variasi prouk yang lebih banyak dibandingkan produk bank konvensional.[2]
Metode penghimpunan dana yang ada pada Bank-bank konvensional didasari teori yang diungkapkan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan, yaitu fungsi transaksi, cadangan, dan investasi. Oleh karena itu, produk penghimpuanan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.
berbeda dengan hal tersebut, Bank Syariah tidak melakukan pendekatan tungggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya, dan bank Syariah terdiri atas:[3]

1.      Wadi’ah
a.      Pengertian
Secara etimologis, kata Wadi’ah  berasal dari kata Wada’a asyi-syiai’ jika ia meninggalkannya pada orang yang menerima titipan. adapun Wadi’ah secara terminology, yaitu pemberian kuasa oleh penitip kepada orang yang menjaga hartanya tanpa konvensasi ataupun (ganti).[4]
wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik inividu ataupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan sajua si penitip menghendaki. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah & Hanabilah menyatakan:
            Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.”
            Selain itu, Wadiah dapat juga diartikan akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka sipenerima titipan tidak wajib menggantinya, tetapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka wajib menggantinya. Dengan demikian akad Wadi’ah  ini mengandung unsure amanah, Kepercayaan (trusty).[5]
            Wadi’ah dalam tradisi Fiqih Islam, dikenal dengan prinsip titipan atau simpanan. Wadi’ah dapat juga diartikan titipan murni dari satu pihah ke pihak lain, baik sebagai individu maupun sebagai suatu badan hukum. Titipan dimaksud, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Dapat dikatakan bahwa sifat-sifat dari Wadi’ah, sebagai produk perbankan syariah membentuk giro yang merupakan titipan murni (yad damanah).[6]



b.      Pembagian Wadi’ah dan Penerapannya pada Perbankan Syariah
Secara umum terdapat dua jenis Wadi’ah, yaitu Wadi’ah yad al-amanah dan Wadi’ah yad adh-dhamanah.
1)      Wadi’ah yad al-amanah (Trustee Defostery)
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a)      Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
b)      Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
c)      Sebagai konvensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
d)     mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi Perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe defosit box.

Gambar
Skema Al- Wadi’ah yad al-amanah[7]
1.       Rounded Rectangle: BANK
Mustawda’  (Penyimpanan)
Penitip
Rounded Rectangle: NASABAH
Muwaddi (Penitip)
Penitip
Titip Barang


 
2.       Membebankan Fee

2)      Wadi’ah  yad adh-dhamanah (Guarante Depository)
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a)      Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
b)      Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
c)      Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini.[8]



Gambar
Oval: BANK
Mustawda’  (Penyimpanan)

Skema Wadi’ah  yad adh-dhamanah[9]
Oval: NASABAH
Muwaddi (Penitip)

1.Titip dana

                                                   4.  Beri bonus
                                                                                                 
3. Bagi hasil            2. Pemanfaatan dana


Oval: USERS OF FUND (Dunia Usaha)
 




c.       Dasar hukum Wadi’ah
Al-Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang mnerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali, firman Allah SWT:
artinya: Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan bertaqwalah kepada Allah sebagai Tuhannya (Al-Baqarah: 283)[10]
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya atau melakukan Jinayah terhadap barang titipan. Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Dar al- Quthni dan riwayat Arar bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi saw. bersabda:
artinya: “Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin” (Riwayat Daruquthni)[11]




d.      Rukun Wadi’ah
Rukun Wadi’ah meliputi:
1)      Barang yang disimpan/dititipkan (wadi’ah)
2)      Pemilik barang/uang, yang bertindak sebagai pihak yang menitipkan (muwaddi’)
3)      Pihak yang menyimpan atau memberikan jasa kustodian (Mustawda’)
4)      Ijab Kabul (sighat)[12]

e.       Ketentuan umum Wadi’ah
Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan ketentuan mengenai giro yang dapat diterapkan dengan system wadi’ah, yaitu pada fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini giro yang berdasarkan wadi’ah ditentukan bahwa:
1)      Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan;
2)      Titipan (dana) yang bisa diambil kapan saja (on call) dan
3)      Tak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

Sedangkan tabungan diatur dalam fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini disebutkan ketentuan mengenai tabungan yang berdasarkan wadi’ah yaitu:
1)      Dana yang disimpan pada bank adalah yang bersifat simpanan.
2)      Simpanan ini bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesempatan; dan
3)       Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.[13]


f.       Fitur dan mekanisme Giro berdasarkan Wadi’ah
1)      Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah sebagai penitip dana.
2)      Bank tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah.
3)      Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain, biaya cek/bilyet giro, biaya materai, cetak laporan transakisi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening.
4)      Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah.
5)      Dana titipan dapat diamil setiap saat oleh nasabah.[14]


2.      Mudharabah
a.      Pengertian
            Prinsip penghimpunan dana yang kedua adalah prinsip Mudharabah. Secara etimologis Mudharabah mempunyai arti berjalan di atas bumi yang biasa dinamakan bepergian.
               Secara terminologis Mudharabah adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-mal) dan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan untuk aktifitas yang produktif dimana keuntungan  dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal. Kerugian jika ada ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal (rab al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya.[15]
      Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan muamalah.
      jadi, menurut bahasa, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan), berjalan, dan atau bepergian.
      Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para  ulama sebagai berikut.
      Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah:
      “akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untk ditijarahkan.”
               Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi & Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah:
      seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.[16]
              Dalam prinsip yang kedua ini, penyimpanan atau deposan bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik modal, sedangkan bank Islam bertindak sebagai mudharib. Dana yang dikumpulkan oleh bank Islam dengan konsep mudharabah ini kemudian yang akan dimanfaatkan oleh bank itu sendiri untuk disalurkan dalam pembiayaan, baik dalam bentuk mudharabah ataupun ijarah. selain itu, dana tersebut dapat pula dimanfaatkan oleh pihak bank untuk melakukan pembiayaan dengan konsep mudharabah pula, dimana hasil usaha yang telah disepakati. bila bank menggunakan dana yang dihimpunnya juga dalam pembiayaan mudharabah, maka pihak bank bertanggung jawab terhadap kemungkinan kerugian yang akan terjadi.

b.      Pembagian Mudharabah dan Penerapannya pada Perbankan Syariah
     Berdasarkan apa yang ada serta kewenangan yang diberikan oleh pihak penyimpanan dana terhadap bank, maka terdapat dua prinsip dalam mudharabah, yaitu:
1)   Mudharabah Mutlaqah (Unrectricted Investment Account)
Dalam konsep Mudharabah ini, tidak pembatasan bagi pihak bank Islam dalam penggunaan dana dari dana-dana yag berhasil dihimpun. Dalam hal ini maka pihak nasabah sama sekali tidak memberikan persyaratan apa pun kepada pihak bank jenis usaha apa dari dana yang disimpannya ke dalam bank Islam tersebut akan disalurkan, atau dalam menetapkan penggunaan akad-akad tertentu, atau pun masyarakat dananya harus diperuntukkan bagi para nasabah tertentu. Jadi, dalam penghimpunan dana dengan konsep mudharabah mutlaqah ini pihak bank Islam memiliki kebebasan penuh untuk menyalurkan dananya ke dalam usaha apa pun yang diperkirakan akan menguntungkannya. Maka berdasarkan konsep mudharabah mutlaqah ini pihak bank Islam dapat melakukan pengembangan dua jenis penghimpunan dana, yaitu konsep tabungan dan deposito mudharabah.







Gambar
SkemaMudharabah Muthlaqah[17]







Rounded Rectangle: DEPOSAN
(Penabung)
Rounded Rectangle: USERS OF FUND


Rounded Rectangle: BANK
 
1 Investasi dana                                                    2 Pembiayaan
                        4 Bagi hasil                                                       3 Bagi hasil



2)   Mudharabah Muqayyadah (Restricted Investment Account)
Dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a)      Mudharabah Muqayyadah on balance sheet
yaitu merupakan penghimpunan dana dalam bank Islam yang berbentuk simpanan khusus dimana pihak pemilik dana dapat menerapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh pihak bank Islam.
b)      Mudharabah Muqayyadah yang berbetuk off balance sheet
Jenis Mudharabah ini merupakan konsep penyaluran langsung dana mudharabah kepada para pelaksana usahanya dengan karakteristiknya.[18]

c.       Dasar Hukum Mudharabah
      Dasar kebolehan praktik Mudharabah adalah QS. Al-Baqarah 2:198: “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu”. Adapun dalil sunnah adalah bahwasanya Nabi penah melakukan akad Mudharabah bagi hasil dengan harta Khadijah ke Negri Syam (waktu itu Khadijah belum menjadi istri Rasulullah SAW). Dan hadist dari Shuhaybah Rasulullah bersabda: ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan kurma untuk keluarga, bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah)
      Diriwayatkan dari Daruquthni Hakim Ibnu Hizam apabila member modal kepada seseorang dia mensyaratkan: harta jangan digunakan membeli binatang, jangan kamu bawa ke laut, dan jangan dibawa menyebrang sungai, apabila kamu lakukan salah satu dari larangan-larangan itu maka kamu harus bertanggung jawab terhadap hartaku.
      Dalam Muwatha’ Imam Malik, dari Al-a’la Ibn Abdurrahman Ibn Yaqub dari kakeknya bahwa ia pernah mengerjakan harta ust-Man r.a. Sedang keuntungannya dibagi dua.
      kebolehan Mudharabah juga dapat di-qiyas-kan dengan kebolehan praktik Musyaqah (bagi hasil dalam bidang perkebunan). Selain itu, kebolehanpraktik Mudharabah ijma’ ulama.


d.      Rukun Mudharabah
Menurut ulama Syafi’yah, rukun qiradh atau mudharabah ada enam, yaitu:
1)      Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.
2)      Orang yang bekerja, yaitu mengelola harta yang diterima dari pemilik barang.
3)      Akad mudharabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.
4)      Maal, yaitu harta poko atau modal.
5)      Amal, yaitu pekerjaan pengelola harta sehingga menghasilkan laba.
6)      Keuntungan


Menurut Pasal 232 Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun mudharabah ada tiga, yaitu sebagai berikut:
a)      Shahib al-mal/pemilik modal.
b)      Mudharib/Pelaku usaha.
c)      Akad.[19]

e.       Ketentuan Umum Mudharabah
      System mudharabah ini dapat diaplikasikan pada produk tabungan, deposito, dan giro. seperti halnya pada system wadi’ah, tabungan juga diatur dalam fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV2000 dan giro diatur dalam Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000. Sedangkan mengenai deposito diatur dalam Fatwa DSN No. 03/DSN-MUI/IV/2000.
      Ketentuan tabungan, giro, dan deposito berdasarkan mudharabah dalam masing-masing fatwanya adalah sama. Isi dari ketentuan-ketentuannya adalah sebagai berikut:
1)      Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dank bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2)      Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3)      Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4)      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5)      Bank sebagai Mudharib menutup biaya operasioanal tabungan giro atau deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6)      Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

            Sistem Mudharabah ini tidak hanya digunakan pada tabungan dan deposito sebagai penyaluran dana, tetapi lebih banyak digunakan pada pembiayaan untuk nasabah sebagai penyaluran dana. Hal ini diurikan lebih lanjut pada bagian penyaluran dana pada system Mudharabah.[20]


f.        Fitur dan mekanisme Giro berdasarkan Mudharabah
1)      Bank bertindak sebagai pengelola dana (Mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal).
2)      pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang telah disepakati.
3)      Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain, biaya cek/bilyet giro, biaya materai, cetak laporan transakisi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening.
4)      Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah.[21]

g.      Pembatalan Mudharabah
1)      Tidak terpenuhunya salah satu atau beberapa syarat mudharabah
2)      Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sbagai pengelola modal atau pengelola modal buat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.
3)      Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, mudharabah menjadi batal.[22]









Kesimpulan
Metode penghimpunan dana yang ada pada Bank-bank konvensional didasari teori yang diungkapkan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan, yaitu fungsi transaksi, cadangan, dan investasi. Oleh karena itu, produk penghimpuanan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.
berbeda dengan hal tersebut, Bank Syariah tidak melakukan pendekatan tungggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya, dan bank Syariah terdiri atas:
1.      Wadi’ah diartikan akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut kebiasaan). Dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka sipenerima titipan tidak wajib menggantinya, tetapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka wajib menggantinya. Dengan demikian akad Wadi’ah  ini mengandung unsure amanah, Kepercayaan (trusty).
2.      Mudharabah adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab al-mal) dan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan untuk aktifitas yang produktif dimana keuntungan  dibagi dua antara pemodal dan pengelola modal. Kerugian jika ada ditanggung oleh pemilik modal, jika kerugian itu terjadi dalam keadaan normal, pemodal (rab al-mal) tidak boleh intervensi kepada pengguna dana (mudharib) dalam menjalankan usahanya.


Daftar Pustaka
Arifin,  Zainul, (2000). Memahami Bank Syariah. Jakarta: Alvabet.
Ali ,Zainuddin, (2008). Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: SinarGrafika.
Dewi, Gemala, (2007). Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Peransuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana.
Huda, Nurul, (2010). Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana.
Mardani, (2012). Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana.
Suhendi, Hendi, (2011). Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Soemitra, Andri, (2009). Bank & Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana. Wirdyaningsih, dkk, (2005). Bank dan Asuransi Islam di Indosesia, Jakarta: Kencana.



[1] Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, (Jakarta: Alvabet, 2000). hlm 198
[2] Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009). hlm 72
[3] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Peransuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2007). hlm 80-81
[4] DR. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012). hlm 282
[5] Nurul Huda, Lembaga Keuangan Islam, (Jakarta: Kencana,2010). hlm 86-87
[6] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: SinarGrafika, 2008). hlm 23
[7] Gemala Dewi, Op Cit, hlm 83
[8] DR. Mardani, Op Cit, hlm 282-284
[9] Wirdyaningsih, SH., MH. dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indosesia, (Jakarta: Kencana, 2005). hlm 104
[10] Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). hlm 182
[11] Ibid, hlm. 182
[12] Nurul Huda, Op Cit, hlm 88
[13] Wirdyaningsih, Op Cit, hlm 104-105
[14] Andri Soemitra, Op Cit, hlm 75
[15] DR. Mardani, Op Cit, hlm 195
[16] Prof. Dr. H. Hendi Suhendi, Op Cit, hlm 137
[17] Gemala Dewi, Op Cit, hlm 85
[18] Nurul Huda, Op Cit, hlm 91-93
[19] DR. Mardani, Op Cit, hlm 197
[20] Wirdyaningsih, Op Cit, hlm 105-106
[21] [21] Andri Soemitra, Op Cit, hlm 75
[22] DR. Mardani, Op Cit, hlm 203-204

0 komentar:

Posting Komentar